Senin, 29 September 2014

Mengenal Etika Bisnis

A.       PENGERTIAN ETIKA

Kata etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat istiadat (kebiasaan). Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.

Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia didalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik.

B. PENTINGNYA ETIKA

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agara mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.

Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.

Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan
buruknya prilaku manusia :
1. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan. 

Etika secara umum dapat dibagi menjadi :
a. ETIKA UMUM, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan.
b. ETIKA KHUSUS, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang
kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya mengambil
keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya
lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar.

ETIKA KHUSUS dibagi lagi menjadi dua bagian :
a. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.


Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadpa pandangan-pandangan dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.
DILEMA ORIENTASI ETIKA VS ORIENTASI PROFIT

A.            Pedahuluan
Pada kondisi bisnis yang penuh persaingan dewasa ini, berbisnis secara etis sekaligus mencari laba maksimal sepertinya tidak mungkin dilakukan. Banyak pelaku bisnis yang meninggalkan etika yaitu melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang dari nilai dan norma moral yang diterima umum dalam masyarakat. Sebagai contoh misalnya melakukan kolusi dan nepotisme dengan pejabat pemerintah untuk memenangkan lelang proyek bisnisnya. Ada keprihatinan banyak pihak akan berkembangnya fenomena cara-cara bisnis yang tidak etis atau a-moral tersebut, bahkan ada angapan bahwa praktik bisnis a-moral sebagai sesuatu yang sah jika ingin meraih keuntungan yang melimpah. Nugroho (1996) menyebutkan bahwa perkembangan bisnis yang begitu pesat seringkali memaksa pelaku bisnis demi mengejar keuntungan bersinggungan dengan masalah etika, meskipun tanpa harus melangar hukum dan peraturan.

Di dalam praktik bisnis tidak ada seorang pebisnis pun yang ingin menderita rugi, karena laba merupakan basis kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Suseno (1994) bahwa pandangan pelaku bisnis adalah prinsip ekonomi yaitu keinginan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, yang mendorong pebisnis melakukan praktik bisnis yang curang. Berbagai cara ditempuh untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Diversifikasi bisnis, usaha monopoli dan hak istimewa dari pemerintah banyak dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Bahkan kadang-kadang menekan biaya produksi serendah mungkin dengan mengabaikan hak-hak pekerja, jaminan sosial, keselamatan kerja dan ketentuan upah minimum. Oleh karena itu penerapan konsep bisnis yang berorientasi pada
kesejahteraan masyarakat tampak masih jauh dari harapan. Masalah yang muncul,
sudah begitu parahkah praktik dunia bisnis kita?. 
 DILEMA ORIENTASI ETIKA VS ORIENTASI PROFIT

A.            Pedahuluan
Pada kondisi bisnis yang penuh persaingan dewasa ini, berbisnis secara etis sekaligus mencari laba maksimal sepertinya tidak mungkin dilakukan. Banyak pelaku bisnis yang meninggalkan etika yaitu melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang dari nilai dan norma moral yang diterima umum dalam masyarakat. Sebagai contoh misalnya melakukan kolusi dan nepotisme dengan pejabat pemerintah untuk memenangkan lelang proyek bisnisnya. Ada keprihatinan banyak pihak akan berkembangnya fenomena cara-cara bisnis yang tidak etis atau a-moral tersebut, bahkan ada angapan bahwa praktik bisnis a-moral sebagai sesuatu yang sah jika ingin meraih keuntungan yang melimpah. Nugroho (1996) menyebutkan bahwa perkembangan bisnis yang begitu pesat seringkali memaksa pelaku bisnis demi mengejar keuntungan bersinggungan dengan masalah etika, meskipun tanpa harus melangar hukum dan peraturan.

Di dalam praktik bisnis tidak ada seorang pebisnis pun yang ingin menderita rugi, karena laba merupakan basis kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Suseno (1994) bahwa pandangan pelaku bisnis adalah prinsip ekonomi yaitu keinginan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, yang mendorong pebisnis melakukan praktik bisnis yang curang. Berbagai cara ditempuh untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Diversifikasi bisnis, usaha monopoli dan hak istimewa dari pemerintah banyak dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Bahkan kadang-kadang menekan biaya produksi serendah mungkin dengan mengabaikan hak-hak pekerja, jaminan sosial, keselamatan kerja dan ketentuan upah minimum. Oleh karena itu penerapan konsep bisnis yang berorientasi pada
kesejahteraan masyarakat tampak masih jauh dari harapan. Masalah yang muncul,
sudah begitu parahkah praktik dunia bisnis kita?. 
 DILEMA ORIENTASI ETIKA VS ORIENTASI PROFIT

A.            Pedahuluan
Pada kondisi bisnis yang penuh persaingan dewasa ini, berbisnis secara etis sekaligus mencari laba maksimal sepertinya tidak mungkin dilakukan. Banyak pelaku bisnis yang meninggalkan etika yaitu melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang dari nilai dan norma moral yang diterima umum dalam masyarakat. Sebagai contoh misalnya melakukan kolusi dan nepotisme dengan pejabat pemerintah untuk memenangkan lelang proyek bisnisnya. Ada keprihatinan banyak pihak akan berkembangnya fenomena cara-cara bisnis yang tidak etis atau a-moral tersebut, bahkan ada angapan bahwa praktik bisnis a-moral sebagai sesuatu yang sah jika ingin meraih keuntungan yang melimpah. Nugroho (1996) menyebutkan bahwa perkembangan bisnis yang begitu pesat seringkali memaksa pelaku bisnis demi mengejar keuntungan bersinggungan dengan masalah etika, meskipun tanpa harus melangar hukum dan peraturan.

Di dalam praktik bisnis tidak ada seorang pebisnis pun yang ingin menderita rugi, karena laba merupakan basis kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Suseno (1994) bahwa pandangan pelaku bisnis adalah prinsip ekonomi yaitu keinginan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, yang mendorong pebisnis melakukan praktik bisnis yang curang. Berbagai cara ditempuh untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Diversifikasi bisnis, usaha monopoli dan hak istimewa dari pemerintah banyak dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Bahkan kadang-kadang menekan biaya produksi serendah mungkin dengan mengabaikan hak-hak pekerja, jaminan sosial, keselamatan kerja dan ketentuan upah minimum. Oleh karena itu penerapan konsep bisnis yang berorientasi pada
kesejahteraan masyarakat tampak masih jauh dari harapan. Masalah yang muncul,
sudah begitu parahkah praktik dunia bisnis kita?. 
 DILEMA ORIENTASI ETIKA VS ORIENTASI PROFIT

A.            Pedahuluan
Pada kondisi bisnis yang penuh persaingan dewasa ini, berbisnis secara etis sekaligus mencari laba maksimal sepertinya tidak mungkin dilakukan. Banyak pelaku bisnis yang meninggalkan etika yaitu melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang dari nilai dan norma moral yang diterima umum dalam masyarakat. Sebagai contoh misalnya melakukan kolusi dan nepotisme dengan pejabat pemerintah untuk memenangkan lelang proyek bisnisnya. Ada keprihatinan banyak pihak akan berkembangnya fenomena cara-cara bisnis yang tidak etis atau a-moral tersebut, bahkan ada angapan bahwa praktik bisnis a-moral sebagai sesuatu yang sah jika ingin meraih keuntungan yang melimpah. Nugroho (1996) menyebutkan bahwa perkembangan bisnis yang begitu pesat seringkali memaksa pelaku bisnis demi mengejar keuntungan bersinggungan dengan masalah etika, meskipun tanpa harus melangar hukum dan peraturan.

Di dalam praktik bisnis tidak ada seorang pebisnis pun yang ingin menderita rugi, karena laba merupakan basis kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Suseno (1994) bahwa pandangan pelaku bisnis adalah prinsip ekonomi yaitu keinginan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, yang mendorong pebisnis melakukan praktik bisnis yang curang. Berbagai cara ditempuh untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Diversifikasi bisnis, usaha monopoli dan hak istimewa dari pemerintah banyak dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Bahkan kadang-kadang menekan biaya produksi serendah mungkin dengan mengabaikan hak-hak pekerja, jaminan sosial, keselamatan kerja dan ketentuan upah minimum. Oleh karena itu penerapan konsep bisnis yang berorientasi pada
kesejahteraan masyarakat tampak masih jauh dari harapan. Masalah yang muncul,
sudah begitu parahkah praktik dunia bisnis kita?. 

DILEMA ORIENTASI ETIKA VS ORIENTASI PROFIT

A.            Pedahuluan
Pada kondisi bisnis yang penuh persaingan dewasa ini, berbisnis secara etis sekaligus mencari laba maksimal sepertinya tidak mungkin dilakukan. Banyak pelaku bisnis yang meninggalkan etika yaitu melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang dari nilai dan norma moral yang diterima umum dalam masyarakat.
 Di dalam praktik bisnis tidak ada seorang pebisnis pun yang ingin menderita rugi, karena laba merupakan basis kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Suseno (1994) bahwa pandangan pelaku bisnis adalah prinsip ekonomi yaitu keinginan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, yang mendorong pebisnis melakukan praktik bisnis yang curang. Berbagai cara ditempuh untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Diversifikasi bisnis, usaha monopoli dan hak istimewa dari pemerintah banyak dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Bahkan kadang-kadang menekan biaya produksi serendah mungkin dengan mengabaikan hak-hak pekerja, jaminan sosial, keselamatan kerja dan ketentuan upah minimum. B. Orientasi Bisnis di Era Global
Gelombang globalisasi telah melanda berbagai sektor berkembang pesat berdampak luas bisnis. Kinichi Ohmae (1995) menyatakan bahwa akibat globalisasi, batas-batas antar negara menjadi tidak begitu penting lagi. Perdagangan bebas AFTA untuk negara-negara Asia tenggara yang dimulai 2003 dan APEC tahun 2020 diperkirakan akan menuntut pergeseran paradigma dalam berbisnis, yaitu bahwa dimensi etika dalam dunia bisnis menjadi salah satu kunci utama dalam berbisnis.

Globalisasi dalam berbagai bidang akan mengakibatkan semakin banyak hal-hal yang uncontrollable bagi perusahaan, bahkan oleh pemerintah sekalipun. Eksistensi bisnis tertentu di Indonesia yang selama ini karena adanya dukungan orang kuat dan hak-hak istimewa lainnya, nantinya tidak bisa menolak menghadapi tekanan internasional. Interdependensi antar negara menjadi semakin besar. Persaingan bisnis dengan aturan main yang bersifat global seperti ketentuan world trade organization (WTO) dan international standards organization (ISO) tidak bisa lagi diabaikan. Tekanan internasional seperti tentang perburuhan, human right, dan keadilan akan menjadi persyaratan dalam berbisnis.

C. Etika dan Moralitas
Untuk memahami apakah etika, kita perlu terlebih dahulu membedakannya dengan moralitas. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana ita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai terkandung dalam ajaran yang berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan dan perintah yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup dengan baik agar mereka benar-benar menjadi manusia yang baik. Moralitas merupakan tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan tentang yang baik atau yang buruk. Moralitas memberi manusia petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak, dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana harus menghindari perilaku-perilaku yang buruk.

Lain dengan moralitas, etika harus dipahami sebagai sebuah cabang filsafat yang berbeda mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pada pendekatan yang kritis dalam melihat nlai dan norma moraltersebut serta permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan norma moral tersebut.

Etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang terwujud dalam sikap dan perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Karena etika merupakan refleksi kritis terhadap moralitas maka etika tidak bermaksud untuk bertindak sesuai moralitas begitu saja. Etika menghimbau orang untuk bertindak sesuai dengan moralitas, tetapi bukan karena diperintahkan oleh nenek moyang atau guru, melainkan karena ia sendiri tahu bahwa hal itu memang baik bagi dirinya dan bukan sekedar ikut-ikutan. Ia sendiri sadar secara kritis bahwa tindakan seperti itu baik bagi dirinya dan bagi masyarakat karena alasan-alasan yang rasional.

D. Orientasi Profitabilitas versus orientasi Etis dalam Bisnis
Pandangan pebisnis sering dihadapkan pada suatu dilema antara pilihan berbisnis dengan orientasi priofit atau berbisnis secara etis. Sedangkan pilihan lain yaitu bisnis yang berorientasi profit sekaligus etis, yang selama ini sepertinya sulit dilakukan, sebab kedua hal tersebut lebih sebagai pilihan orientasi yang mutually exclusive atau saling menghilangkan dan tidak sejalan satu dengan lainnya. Apabila tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak, dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana harus menghindari perilaku-perilaku yang buruk. Etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang terwujud dalam sikap dan perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. D. Orientasi Profitabilitas versus orientasi Etis dalam Bisnis
Pandangan pebisnis sering dihadapkan pada suatu dilema antara pilihan berbisnis dengan orientasi priofit atau berbisnis secara etis. Sedangkan pilihan lain yaitu bisnis yang berorientasi profit sekaligus etis, yang selama ini sepertinya sulit dilakukan, sebab kedua hal tersebut lebih sebagai pilihan orientasi yang mutually exclusive atau saling menghilangkan dan tidak sejalan satu dengan lainnya. Apabila laba yang sebesar-besarnya yang ingin dicapai, maka kemungkinan harus mengabaikan etika, sebaliknya jika lebih mengutamakan etika maka mustahil diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dan ketika bisnis secara etis masih sejalan dengan orientasi profit karena biayanya tidak besar maka kemungkinan pelaku bisnis masih bersedia berbisnis secara etis. Namun jika harus dihadapkan pada pilihan yang dilematis antara profit dan etika, maka fenomena yang ada
memaksa pebisnis pada pilihan yang mengutamakan profit, karena keuntungan mutlak diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhan bisnisnya.

Diakui oleh banyak pebisnis sangatlah sulit untuk memperoleh win-win solution sehingga pebisnis memperoleh keuntungan sekaligus berdimensi etis. Namun apabila perdagangan bebas telah berjalan sepenuhnya, akan terjadi perubahan paradigma berbisnis secara bertahap. Dimensi etika dalam bisnis menjadi kunci keberhasilan barang dan jasa yang ditawarkan bisa diterima atau tidak diterima oleh konsumen.
E. Sifat Etika Bisnis
Apakah suatu praktik bisnis bisa dikatakan berdimensi etis atau tidak etis bisa dikaji dengan memahami esensi dari etika bisnis dari pandangan utilitariabism (kemanfaatan), relativism (relativitas) dan legalism (legalitas). Menurut pandangan utilitariabism, bisnis dinyatakan etis jika memberikan manfaat kepada banyak orang. Tetapi pandangan ini akan akan berdampak adanya pihak-pihak yang dikorbankan. Sebagai contoh pembangunan jalan layang jelas menguntungkan, namun dalam keuntungan yang diperoleh pebisnis mempunyai dampak berupa hilangnya kesempatan petani mengelola tanah produktif dan rusaknya keseimbangan ekosistem.

Menurut pandangan relativism, bisnis dinyatakan etis bila mayoritas berpandangan setuju atau sesuatu yang bersifat umum dilakukan. Namun berbisnis secara etis bukan merupakan pengikut relativism. Seprti misalnya banyak kasus bribery dan extorsion yang keduanya merupakan kasus penyuapan. Pada bribery, inisial penyuapan berasal dari pemberi (giver), sedangkan extorsion inisial penyuapan dari pihak penerima (receiver). Demikian juga berbisnis secara etis bukan pengikut pandangan legalism, karena berbisnis lebih dari sekedar taat pada aturan hukum yang ada, namun ketentuan legal merupakan persyaratan minimum dari suatu tindakan bisnis yang etis. Seperti misalnya ketentuan upah minimum, maka perusahaan yang berdimensi etis akan memberikan upah lebih dari jumlah tersebut yaitu pemberian upah yang berorientasi pada terpenuhinya kebutuhan karyawan lebih luas dengan memperhatikan kemampuan perusahaan secara jujur.
F. Perkembangan Etika Bisnis di Indonesia.
Etika bisnis dapat dikatakan baru berkembang dalam satu dua dasawarsa terakhir ini. Jika dibandingkan dengan etika khusus lainnya sebagai cabang etika terapan, seperti etika politik, dan kedokteran, etika bisnis dirasakan masih sangat baru. Dengan semakin gencarnya pembicaraan mengenai etika bisnis di masyarakat bersama dengan hidupnya kegiatan bisnis di negera kita, mulai disadari bahwa etika bisnis perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar, khususnya dalam kerangka perilaku bisnis di Indonesia.etika bisnis di Indonesia masih jelek. Citra jelek tersebut disebabkan oleh pandangan pertama yang melihat bisnis hanya sebagai sekedar mencari keuntungan. Tentu saja mencari keuntungan sebagaimana dikatakan di atas. Hanya saja sikap yang timbul dari kesadaran bahwa bisnis hanya mencari keuntungan telah mengakibatkan perilaku yang menjurus menghalalkan segala cara demi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mengindahkan nilai-nilai manusiawi lainnya seperti adanya persaingan tidak sehat, monopoli, kecurangan, pemalsuan, eksploitasi buruh dan sebagainya. Keuntungan adalah hal yang baik dan perlu untuk menunjang kegiatan bisnis selanjutnya, bahkan tanpa keuntungan, misi luhur bisnis pun tidak akan tercapai. Persoalan dihadapi di sini adalah bagaimana mengusahakan agar keuntungan yang diperoleh itu wajar-wajar saja, karena yang utama adalah melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan tidak merugikan pihakpihak yang terkait dalam bisnis ini. Perkembangan etika bisnis di Indonesia yang demikian itu, nampaknya hingga sekarang masih jauh dari harapan.
 G. Dampak Negatif Akibat Implementasi Bisnis yang Tidak Etis di Indonesia
Pada dunia bisnis, upaya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan hal yang wajar. Bahkan upaya ini akan menyemarakkan keseluruhan sistem perekonomian nasional, dalam arti keuntungan yang sebesarbesarnya didapatkan dengan melaksanakan berbagai kegiatan yang akan mempengaruhi perekonomian. Namun sayangnya dalam kenyataan upaya mendapatkan keuntungan tersebut cenderung mengabaikan etika bisnis.
Keuntungan yang besar diperoleh dengan mengorbankan faktor-faktor bisnis lainnya. Perilaku bisnis yang tidak etis untuk mendapatkan keuntungan maksimum akan berdampak sebagai berikut.
1. Upah dan kesejahteraan karyawan menurun.
2. Mematikan usaha pemasok
3. Merusak lingkungan
4. Merugikan konsumen.
namun demikian, pada saat ini tidak boleh pesimis dengan kemampuan etika dan moral sebagian pengusaha kita yang berambisi untuk bisnis yang halal dan berkah. Mereka sebagai pengusaha yang patriotik mengajak dan memperingatkan para pengusaha lainnya untuk selalu berlaku etis dan moralis. Asosiasi pengusaha seperti KADIN dapat menjadi  pendorong ke arah pelaksanaan etika dan moral usahawan yang lebih baik untuk itu perlu adanya reorientasi baru di mana para pimpinan harus memahami etika dan moral bisnis yang memadai.
H. Upaya Pengembangan Implementasi Etika Bisnis di Indonesia
Upaya mengembangkan praktik bisnis yang etis di Indonesia dapat dilakukan melalui berbagai cara yang elegan. Cara-cara tersebut antara lain meliputi:
1. Mengembangkan lingkungan usaha yang etis.
2. Menciptakan kredo perusahaan yang etis dan moralis.
3. Mengembangkan etika melalui pendidikan manajemen.

Kajian ini menggugah kesadaran kita bahwa keberhasilan bisnis dan manajemen tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan material berupa keuntungan dan pertumbuhan perusahaan. Kenyataan membuktikan bahwa lingkup kegiatan bisnis dan manajemen tidak hanya menyangkut lingkup ekonomi dan manajemen secara murni, melainkan menyentuh juga aspek-aspek manusiawi dan etika. Oleh karena itu dalam setiap keputusan dan tindakan bisnis, aspek-aspek manusiawi dan etika tersebut ikut berperan di dalamnya.

Sejalan dengan peran etika yang semakin penting dalam bisnis modern, maka para praktisi bisnis harus melihat bahwa mereka memiliki peran yang sangat strategis dalam menyelaraskan wajah dunia bisnis kita di masa depan. Semakin aspek-aspek manusiawi dan etis diperhatikan dalam kegiatan bisnis, maka masyarakat dan budaya kita juga akan menjadi semakin etis dan bermoral seperti yang diharapkan.

http://dion.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/35636/Konsep+Etika+Bisnis.docx