Kenapa Sistem Kinerja Gagal
Ada sejumlah kalangan praktisi
organisasi dan HR di Indonesia yang mengatakan bahwa metode Balanced Scorecard
(BSC) gagal. Padahal, praktisi dan konsultan manajemen terkemuka di dunia
meyakini bahwa BSC adalah sistem manajemen kinerja terbaik. Tampaknya, ada
sejumlah kesalahan fatal yang dibuat praktisi bisnis jika mereka tidak bisa
menarik manfaat dari implementasi BSC.
Pertanyaan tentang seberapa
efektif sistem manajemen kinerja yang diterapkan setiap organisasi selalu
menjadi beban yang menggelayuti pikiran praktisi organisasi & HR. Jawaban
yang umum dari pertanyaan ini adalah, mereka mengeluhkan sistem manajemen
kinerja yang mereka terapkan selama ini: apakah sistem tersebut masih
tradisional ataupun sudah secara penuh menerapkan Balanced Scorecard. Banyak
praktisi organisasi & HR di Indonesia yang memberikan pernyataan bahwa BSC
yang mereka terapkan gagal meningkatkan kinerja organisasi mereka. Karena
kegagalan itu, maka muncul kesimpulan bahwa BSC sebagai sebuah sistem
manajemen kinerja integral juga gagal.
Kesimpulan ini jelas keliru.
Metode BSC merupakan sistem manajemen kinerja terbaik, yang membantu setiap
bagian dalam organisasi untuk menerapkan strategi organisasi menjadi tindakan
operasional dan hasil yang jelas. Metode BSC bukan sekedar sistem manajemen
kinerja biasa, tetapi alat untuk mengimplementasikan strategi secara efektif.
Survei dari majalah Fortune
menunjukkan, kurang dari 10% strategi yang telah diformulasikan secara efektif
berhasil diterapkan secara efektif pula. Artinya apa? Masalah utama yang
dihadapi organisasi bukanlah menyusun atau memformulasikan strategi, melainkan
bagaimana mengimplementasikan strategi itu secara efektif. Betapapun indahnya
strategi organisasi, tetapi kalau pelaksanaannya tidak baik, hasilnya akan
tetap buruk. Sebaliknya, strategi organisasi yang sederhana namun diterapkan
secara ekselen, maka hasilnya akan sangat luar biasa. Itu sebabnya, pengusaha
dan mantan CEO yang sangat sukses sekelas Teddy P. Rahmat, selalu bilang bahwa
masalah utama manajemen adalah bagaimana mengimplementasikan strategi.
Maka, metode BSC muncul sebagai
jawaban dari problematika klasik yang dihadapi organisasi di dalam
mengimplementasikan strategi. Sejak Prof. Robert Kaplan dan Dr. David Norton
menulis artikel pertama kali tentang BSC berjudul ”The Balanced Scorecard –
Measures that Drive Performance”di Harvard Business Review (HBR) pada tahun
1992, maka tulisan itu secara cepat mendapatkan perhatian dan sambutan praktisi
bisnis di dunia. Majalah HBR kemudian mencatat, permintaan atas tulisan
tersebut mencatat rekor dalam sejarah HBR. Sebelum muncul buku pertama tahun
1996 (dari 4 buku yang mereka terbitkan), muncul 2 tulisan berikutnya di HBR
sebagai cerminan dari begitu antusiasnya sambutan praktisi bisnis terhadap BSC:
”Putting the Balanced Scorecard to Work” (1993) dan ”Using the Balanced
Scorecard as a Strategic Management System” (1996).
Antusiasme praktisi organisasi
terhadap BSC pada akhirnya ikut menyumbang kepada penyempurnaan metode BSC.
Salah satu perusahaan yang banyak menyumbang terhadap perkembangan BSC pada
tahap awal adalah raksasa Mobil Oil. Semenjak itu, dengan semakin banyaknya
organisasi yang menerapkan BSC dan variasinya, maka metode BSC mendapatkan
pembuktian secara ilmiah dan praktis dalam kehidupan organisasi modern.
Metode BSC membantu seluruh level jabatan dan bagian dalam organisasi untuk
fokus kepada indikator kinerja utama (Key Performance Indicator/KPI) yang
sepenuhnya disusun berdasarkan strategi organisasi. Setiap orang dan bagian
memiliki KPI yang jelas di dalam upaya mewujudkan strategi organisasi secara
bersama-sama.
Untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik, sebaiknya sistem BSC diotomasikan dengan menggunakan software BSC
yang banyak bermunculan (lihat: www: //bscol.com). Otomasi sistem manajemen
kinerja ini memudahkan pimpinan organisasi memantau, mengelola, dan memberikan
umpan balik kinerja karena tersedianya performance dashboard. Dengan otomasi,
manajemen kinerja menjadi lebih mudah dan lebih fokus dengan siklus waktu
evaluasi kinerja yang relatif pendek karena sifatnya yang online dan
realtime. Jadi, koreksi kinerja bisa dilakukan secara preventif, tidak menunggu
sekian lama pasca kejadian. Bilamana ada target kinerja yang tidak tercapai,
maka melalui sistem bisa dilakukan komunikasi intensif kepada pemilik KPI
untuk mengatasi masalah tersebut. Tidak perlu menunggu tengah semester atau
bahkan akhir tahun, di mana kinerjanya tidak bisa lagi diperbaiki.
Otomasi BSC juga memudahkan
jajaran pimpinan untuk membahas implementasi strategi dengan fokus kepada KPI
yang masih meleset jauh. Sedangkan KPI yang sudah atau nyaris tercapai, bisa
diabaikan untuk dibahas secara mendalam. Dengan demikian, rapat-rapat eksekutif
bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien. Cukup sejam atau kurang, tetapi
sangat efektif menigkatkan kinerja.
Sama halnya dengan masalah
klasik strategi yang terletak pada aspek implementasi strategi, maka kegagalan
BSC juga banyak terjadi karena implementasinya. Mengimplementasikan BSC
susah-susah gampang. Sebaiknya, untuk keberhasilan implementasi BSC, organisasi
mengundang konsultan yang kompeten. Si konsultan bisa memberikan bantuan dalam
menyusun Peta Strategi, KPI, program/kegiatan berbasis kinerja, dan sebagainya.
Sebagai orang luar, konsultan mampu menjadi fasilitator di dalam menerapkan BSC
dengan melibatkan secara penuh orang-orang dalam.
Riset dari Balanced Scorecard
Collaborative (2002), menunjukkan bahwa ada 4 faktor penghambat suksesnya
implementasi sistem manajemen kinerja yang terintegrasi:
1. Hambatan
Visi (Vision Barrier)
Dalam praktik, tidak banyak
orang dalam organisasi yang memahami atau mengerti visi dan strategi dari
organisasi mereka. Berdasarkan survei, hanya sekitar 5% dari karyawan yang
memahami visi dan strategi organisasi.
2. Hambatan
Orang (People Barrier)
Banyak orang dalam organisasi
memiliki tujuan yang tidak terkait dengan strategi organisasi. Berdasarkan
survei, hanya sekitar 25% dari manajer yang memiliki insentif terkait dengan
strategi perusahaan mereka. Artinya, organisasi tidak menghubungkan pencapaian kinerja
dengan sistem reward dan punishment. Akibatnya, karyawan tidak memiliki
motivasi yang memadai untuk meningkatkan kinerja.
3. Hambatan
Sumberdaya (Resource Barrier)
Sumberdaya waktu, energi, dan
uang organisasi tidak dialokasikan pada hal-hal yang penting dan strategis bagi
organisasi. Sebagai misal, anggaran tidak dikaitkan dengan strategi organisasi
sehingga menghasilkan pemborosan sumberdaya. Berdasarkan survei, sekitar 60%
dari organisasi tidak mengaitkan anggaran kepada strategi perusahaan.
4. Hambatan
Manajemen (Management Barrier)
Hambatan juga berasal dari
manajemen itu sendiri karena terlalu sedikit menhabiskan waktu untuk membahas
strategi organisasi dan terlalu banyak menghabiskan waktu pada pembuatan
keputusan yang sifatnya taktis jangka pendek. Berdasarkan survei, sekitar 86%
dari tim eksekutif menghabiskan waktu kurang dari 1 (satu) jam per bulan untuk
mendiskusikan strategi organisasi.
Di atas adalah sejumlah hambatan
yang menggagalkan implementasi sistem manajemen kinerja. BSC di satu sisi
memecahkan berbagai hambatan itu, namun di sisi lain hanya menghasilkan
kegagalan bilamana tidak dilaksanakan dengan menghilangkan hambatan-hambatan di
atas. Masih banyak catatan lain yang perlu jadi acuan di dalam
mengimplementasikan sistem manajemen kinerja Balanced Scorecard. Semuanya akan
dikupas dalam tulisan-tulisan berikut.
Praktisi HR dan pengembangan
organisasi sering terjebak dalam implementasi Sistem Manajemen Kinerja Balanced
Scorecard dengan mengadopsi metodologi ini secara parsial atau langsung loncat
kepada KPI (Key Performance Indicator). Kesalahan ini akan menyebabkan metode
ini tidak efektif meningkatkan kinerja organisasi secara berkelanjutan dan
memunculkan berbagai permasalahan manajemen lainnya..
Tulisan lalu sudah membahas 4
hambatan utama dalam implementasi sistem manajemen kinerja yang berhasil
menurut survey Balanced Scorecard Collaborative, 2002. Kali ini kita akan
membahas permasalahan lain yang membuat implementasi sistem manajemen kinerja
Balanced Scorecard tidak atau kurang kelihatan dampaknya kepada peningkatan
kinerja organisasi secara berkelanjutan. Permasalahan ini terkait dengan
kebiasaan manajemen di Indonesia yang menerapkan metode Balanced Scorecard
tidak melalui urutan proses yang benar. Banyak praktisi HR yang langsung
mengadopsi Balanced Scorecard dengan membuat atau mengambil KPI dari berbagai
posisi/jabatan dari mana-mana secara generik. Misalnya dari kamus KPI yang kini
banyak dibuat oleh sejumlah pihak. Padahal, KPI-KPI itu belum tentu relevan
dengan strategi organisasi Anda.
Kesalahan ini bermula dari
pemahaman yang keliru tentang Balanced Scorecard. Bahwa Balanced Scorecard
identik dengan KPI. Ini jelas keliru besar. Balanced Scorecard adalah alat
implementasi strategi organisasi terbaik di muka bumi ini, di mana pengukuran
kinerja hanyalah bagian kecil dari metodologi ini. KPI adalah alat bantu bagi
seluruh jajaran organisasi untuk fokus pada bidang-bidang strategis (strategic
areas) dan memudahkan pengelolaan kinerja (termasuk pemberian umpan balik dan pengambilan
keputusan manajemen).
Berdasarkan pemahaman ini, maka organisasi manapun yang membangun sistem Balanced Scorecard harus memiliki kejelasan visi, misi, dan strategi organisasi terlebih dahulu. Dalam konteks Balanced Scorecard, srategi itu dijabarkan ke dalam apa yang disebut dengan Peta Strategi (Strategy Map), yakni hubungan sebab-akibat strategi yang harus dijalankan seluruh bagian organisasi untuk mewujudkan target atau objektif kinerja organisasi secara menyeluruh. Peta strategi berisikan hipotesis tema-tema strategi organisasi yang saling berhubungan kausalitas, di mana dengan membaca satu lembar Peta Strategi setiap orang (internal maupun eksternal) mampu dengan mudah memahami rangkaian strategi yang dijalankan sebuah organisasi.
Untuk dunia bisnis, seluruh tema strategi itu (sehingga membentuk Peta Strategi) lajimnya dibagi ke dalam 4 perspektif (keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran SDM). Sedangkan untuk organisasi non-bisnis, perspektif tersebut bisa berbeda, termasuk urutan-urutannya (karena target kinerja mereka tidak mencari uang seperti layaknya organisasi bisnis).
Berdasarkan pemahaman ini, maka organisasi manapun yang membangun sistem Balanced Scorecard harus memiliki kejelasan visi, misi, dan strategi organisasi terlebih dahulu. Dalam konteks Balanced Scorecard, srategi itu dijabarkan ke dalam apa yang disebut dengan Peta Strategi (Strategy Map), yakni hubungan sebab-akibat strategi yang harus dijalankan seluruh bagian organisasi untuk mewujudkan target atau objektif kinerja organisasi secara menyeluruh. Peta strategi berisikan hipotesis tema-tema strategi organisasi yang saling berhubungan kausalitas, di mana dengan membaca satu lembar Peta Strategi setiap orang (internal maupun eksternal) mampu dengan mudah memahami rangkaian strategi yang dijalankan sebuah organisasi.
Untuk dunia bisnis, seluruh tema strategi itu (sehingga membentuk Peta Strategi) lajimnya dibagi ke dalam 4 perspektif (keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran SDM). Sedangkan untuk organisasi non-bisnis, perspektif tersebut bisa berbeda, termasuk urutan-urutannya (karena target kinerja mereka tidak mencari uang seperti layaknya organisasi bisnis).
Peta Strategi ini sangat penting
di dalam implementasi Balanced Scorecard secara benar. Kesalahan di dalam
menyusun Peta Strategi berakibat ketidaksempurnaan implementasi Balanced
Scorecard. Oleh karena Peta Strategi organisasi ini sangat penting, maka implementasi
Balanced Scorecard hanya bisa sukses bila mendapatkan komitmen dan dukungan
penuh dari pimpinan puncak organisasi (CEO, Menteri, Gubernur, dan seterusnya).
Introduksi Balanced Scorecard bisa dimulai dari bagian mana saja (termasuk
level lebih bawah), tetapi begitu mau diimplementasikan secara benar, ia harus
mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan puncak.
Setelah Peta Strategi disusun,
maka bisa saja implementasi Balanced Scorecard diimplementasikan secara
parsial. Misalnya bagian HR dulu. Syaratnya, sistem, praktik, dan prosedur
manajemen HR yang disusun/dijalankan organisasi harus mengacu pertama kali
kepada Strategi Organisasi (Peta Strategi). Inilah yang disebut dengan
Strategic HR Management, yakni sistem, praktik, dan prosedur manajemen HR yang
mengacu kepada strategi besar organisasi. Dengan cara ini, bagian HR memiliki
peran dan tanggung jawab yang jelas dan terukur di dalam mendukung implementasi
strategi organisasi. Pada organisasi berkinerja tinggi, bahkan, pada
level direksi HR dibuatkan pula Peta Strategi tersendiri, yang menjabarkan Peta
Strategi bagian HR di dalam upaya mewujudkan Peta Strategi Organisasi secara
menyeluruh.
Di dalam Peta Strategi HR (atau
Organisasi) harus ada kejelasan apa saja yang harus diberikan oleh bagian HR (deliverables)
untuk berkontribusi terhadap pencapaian target kinerja organisasi.
Hal-hal yang sangat penting dijalankan bagian HR untuk terwujudnya strategi
organisasi itu merupakan kandidat kuat untuk dijadikan sebagai HR Scorecard
atau HR Dashboard.
Langkah berikutnya adalah melakukan telaah terhadap arsitektur HR organisasi apakah sudah mendukung bagian HR untuk bisa berkontribusi terhadap pencapaian strategi organisasi (HR deliverables). Termasuk dalam hal ini adalah sistem, infrastruktur, fungsi-fungsi HR yang berlaku di keseluruhan organisasi. Telaah ini bersifat kajian ke dalam (keselarasan internal) maupun ke luar (keselarasan eksternal) dengan Peta Strategi.
Langkah berikutnya adalah melakukan telaah terhadap arsitektur HR organisasi apakah sudah mendukung bagian HR untuk bisa berkontribusi terhadap pencapaian strategi organisasi (HR deliverables). Termasuk dalam hal ini adalah sistem, infrastruktur, fungsi-fungsi HR yang berlaku di keseluruhan organisasi. Telaah ini bersifat kajian ke dalam (keselarasan internal) maupun ke luar (keselarasan eksternal) dengan Peta Strategi.
Setelah itu dilakukan, barulah
bagian HR menyusun HR Scorecard/HR Dashboard. Caranya adalah menyusun KPI HR
dengan memilih HR Delivarables yang sebelumnya sudah diidentifikasi. Termasuk
juga KPI dari komponen terkait dengan infrastruktur HR. Kemudian HR juga
melakukan validasi terhadap HR Scorecard tersebut: apakah Anda telah memilih HR
Performance Drivers (pengendali kinerja HR) dan HR Performance Enablers
(pendukung terwujudnya kinerja) yang tepat. Cara ini akan menghindarkan bagian
HR dari KPI-KPI yang tidak penting atau bahkan tidak perlu untuk dijadikan
fokus dalam menjalankan pekerjaan.
Fase berikutnya adalah melakukan sosialisasi ke dalam orgaisasi HR sendiri tentang HR Scorecard/HR Dashboard tersebut agar benar-benar dipahami oleh internal HR itu sendiri. Pemahaman yang baik akan memungkinkan setiap orang menjalankan pekerjaannya dengan fokus, dan pada sisi lain saling bekerjasama dalam sebuah tim yang solid di dalam mewujudkan HR Scorecard tersebut.
Fase berikutnya adalah melakukan sosialisasi ke dalam orgaisasi HR sendiri tentang HR Scorecard/HR Dashboard tersebut agar benar-benar dipahami oleh internal HR itu sendiri. Pemahaman yang baik akan memungkinkan setiap orang menjalankan pekerjaannya dengan fokus, dan pada sisi lain saling bekerjasama dalam sebuah tim yang solid di dalam mewujudkan HR Scorecard tersebut.
Mengacu pada rangkaian proses
implementasi Balanced Scorecard ini, maka implementasi Balanced Scorecard di HR
secara benar mensyaratkan adanya kejelasan strategi organisasi (melalui sebuah
Peta Organisasi). Dengan demikian, KPI-KPI yang bersifat generik tidak akan
banyak gunanya jika bagian HR menjadikannya KPI. Harap dicatat, strategi setiap
organisasi bersifat unik (kendatipun di industri yang persis sama). Belum lagi
stakeholder dan shareholder masing-masing yang berbeda, termasuk di dalam hal
tuntutan/harapan mereka.
Proses ini jika dijalankan
bagian HR secara benar akan menempatkan HR pada posisi strategis. Inilah
mekanisme dan metodologi yang menjabarkan secara nyata bagaimana prosesnya agar
bagian HR bisa menjadi strategic partner organisasi (sesuai pemikiran guru
besar kita Prof. Dave Ulrich). Di mana bagian HR tidak lagi hanya mengerjakan
apa yang rutin dan relatif sederhana dikerjakan bagian HR (HR Doables) macam
administrasi kepegawaian (absensi, cuti, dan seterusnya) tetapi menjalakan
peran yang lebih menantang (HR Deliverables) seperti kepuasan karyawan dan
produktivitas karyawan.
Kegagalan sebuah sistem
manajemen kinerja dalam mendorong perbaikan kinerja organisasi secara berkelanjutan
juga disebabkan oleh tidak terhubungnya sistem tersebut dengan sistem dan
praktik manajemen HR lainnya.
Tulisan ”Kenapa Sistem Manajemen
Kinerja Gagal, Bagian 2” mengupas kesalahan di dalam menyusun KPI (Key
Performance Indicator) untuk bagian HR dan bagian-bagian lainnya. Kali ini kita
akan bahas kesalahan lain di dalam membangun sebuah sistem manajemen kinerja
yang handal. Yakni tidak dihubungkannya KPI dan pencapaian kinerja (realisasi
vs target) dengan sistem dan praktik manajemen HR organisasi, khususnya dengan
program reward & punishment.
Ketika KPI sudah disusun secara
benar, baik untuk level fungsional maupun individu, maka pada setiap akhir
tahun atau awal tahun depan, setiap bagian atau individu akan memiliki apa yang
disebut dengan Rencana Kinerja Tahunan Individu (Individual Performance
Plan/IPP). IPP lajimnya disusun berdasarkan pendekatan top-down dengan
menjabarkannya dari Peta Strategi Korporat dan Unit, namun dengan interaksi
cukup intens dengan individu tersebut (sehingga juga memuat pendekatan bottom
up secara parsial). IPP ini menjadi kesepakatan target kinerja yang harus
dicapai oleh sebuah bagian atau setiap individu, sehingga sering disebut dengan
Kontrak Kinerja (Performance Contract).
Di dalam sebuah IPP yang baik
dan benar, sebaiknya rencana kerja (Action Plan) seyogyanya juga dimuat. Jadi,
ada kesepakatan antara atasan dan bawahan tentang apa yang akan dilakukan
karyawan yang bersangkutan di dalam mencapai target kinerja tersebut. Tidak
mesti detil, namun yang pasti Rencana Kerja itu memberi arahan lebih tajam
kepada karyawan atau Bagian dalam mewujudkan target kinerja.
Apa yang disebut dengan KPI aau
Indikator Kinerja bagi setiap karyawan atau Bagian itu bisa terdiri dari
Indikator Input (sumberdaya yang diperlukan menjalankan program/kegiatan) dan
Output (ke luaran dari program/kegiatan tersebut), tetapi juga bisa berjalan
lebih jauh berupa Indikator Outcome (hasil dari program/kegiatan itu terhadap
pencapaian strategi organisasi atau Bagian tempat mereka bekerja). Nah, untuk level
korporat/organisasi, lajimnya indikator yang diperlukan adalah Indikator
Outcome, yakni hasil dari serangkaian program/kegiatan yang dijalankan
organisasi di dalam mewujudkan objektif strategiknya (sebagaimana termuat dalam
Peta Strategi).
Pada saat IPP disusun dan disepakati, maka pimpinan dan karyawan yang bersangkutan harus menyusun pula Rencana Pengembangan Individu (Individual Development Plan/IDP), yakni program pelatihan/pendidikan yang dibutuhkan si karyawan agar ia bisa mewujudkan target kinerja tersebut secara baik. Program pelatihan tersebut bisa berbentuk hard (technical) competence, tetapi juga bisa aspek soft competence macam motivasi, kepribadian, dan sejenisnya. Kalau ada assessment kompetensi, maka IDP bertujuan untuk mengisi gap kompetensi karyawan di dalam mencapai target kinerjanya.
Pada saat IPP disusun dan disepakati, maka pimpinan dan karyawan yang bersangkutan harus menyusun pula Rencana Pengembangan Individu (Individual Development Plan/IDP), yakni program pelatihan/pendidikan yang dibutuhkan si karyawan agar ia bisa mewujudkan target kinerja tersebut secara baik. Program pelatihan tersebut bisa berbentuk hard (technical) competence, tetapi juga bisa aspek soft competence macam motivasi, kepribadian, dan sejenisnya. Kalau ada assessment kompetensi, maka IDP bertujuan untuk mengisi gap kompetensi karyawan di dalam mencapai target kinerjanya.
Agar sebuah sistem manajemen
kinerja ”bunyi” (baca: efektif mendorong perbaikan kinerja terus menerus), maka
IPP tersebut harus dikaitkan dengan sistem imbalan (remuneration atau reward
& punishment). Harus ada ganjaran bagi mereka yang berhasil maupun gagal di
dalam mencapai target kinerja. Bentuknya, selain dalam bentuk gaji dan
bonus/insentif (monethary) juga bisa dalam bentuk pemberian penghargaan khusus,
pemberian program pendidikan, dan promosi jabatan di tahun berikutnya
(non-monethary).
Untuk itu, biasanya organisasi
sejak awal sudah menyusun apa yang disebut dengan Performance Grading. Isinya
adalah kebijakan perusahaan tentang penggolongan kinerja individu berdasarkan
tingkat pencapaian target kinerjanya (IPP), yakni indeks pencapaian kinerja
dibandingkan target kinerja: misalnya Grade A, indeksnya lebih dari 90%, Grade
B 80%-90%, dan seterusnya. Sekaligus dengan besaran insentif dan bentuk-bentuk
penghargaan lain yang diberikan sesuai dengan Grading tersebut. Kemudian di
akhir tahun, ketika tutup buku, Performance Grading setiap individu sudah bisa
ditetapkan. Awal tahun depan, bila ada bonus/insentif, bonus atau bentuk-bentuk
penghargaan lainnya tersebut sudah bisa diberikan sesuai dengan kondisi
perusahaan.
Begitulah seterusnya. Secara
kontinu keterkaitan (linkage) ini dipelihara dan disempurnakan, sehingga sistem
manajemen kinerja Balanced Scorecard Anda benar-benar dinikmati secara riil
dampaknya ke dalam internal organisasi. Hal ini akan mendorong seluruh karyawan
berpacu meningkatkan kinerja secara individu. Agar upaya memacu kinerja itu
tidak bersifat ”saling sikut” dalam organisasi, maka harus pula dibangun sistem
insentif yang bersifat tim bilamana teamwork juga perlu dibangun secara simultan.
Sekali lagi, tulisan ini memberi
kerangka praktikal bagi Anda dalam menjalankan roda organisasi secara efektif.
Implementasinya memang tidak semudah kerangka ini. Untuk implementasi yang
sukses, organisasi perlu juga konsultan pendamping di dalam membangun fondasi
sistem yang integral dan handal. Setelahnya, Anda bisa sempurnakan bersama-sama
dengan seluruh jajaran organisasi.
Sukses selalu buat rekan
semuanya. Nantikan tulisan-tulisan berikutnya, yang khusus dibuat untuk
membantu Anda dan organisasi Anda untuk sukses.
Setelah
dibangun melalui proses yang benar, sebaiknya sistem manajemen kinerja Balanced
Scorecard diotomasikan ke dalam software (Performance Software). Hal ini akan
memudahkan pengelolaan kinerja organisasi sekaligus memberikan dashboard
kinerja bagi manajemen sehingga bisa dengan segera melakukan langkah-langkah
yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja.
Tulisan
”Kenapa Sistem Manajemen Kinerja Gagal, Bagian 3” membahas salah satu aspek
yang membuat sistem manajemen kinerja gagal, yakni tidak terhubungnya sistem
manajemen kinerja tersebut dengan praktik manajemen sumberdaya manusia (SDM)
organisasi, seperti tidak adanya pemeringkatan kinerja (Performance Grading)
dan penghargaan (Recognition). Pada intinya, setiap peringkat kinerja harus
mendapatkan ganjaran berupa reward dan punishment moneter maupun nonmoneter.
Dengan demikian, organisasi memiliki sistem atau mekanisme untuk meningkatkan
motivasi bagi karyawan untuk terus memacu prestasi.
Kali
ini, kita akan bahas satu tindak lanjut lain yang sangat membantu membuat
sistem manajemen kinerja yang berhasil, yaitu otomasi sistem manajemen kinerja
tersebut ke dalam sebuah software kinerja (Performance Software). Software
tersebut akan memuat Peta Strategi organisasi, yang menjelaskan hipotesis
tema-tema strategi di antara seluruh perspektif organisasi yang memiliki
hubungan sebab-akibat. Software juga memuat Indikator Kinerja Utama atau Key
Performance Indicator (KPI) organisasi yang diturunkan dari tema-tema strategi
yang termuat dalam Peta Strategi tersebut. Setiap KPI menampilkan besaran
TARGET per waktu tertentu, dan pada saat yang bersamaan memuat data pencapaian
TARGET (REALISASI). Sehingga diperoleh indeks kinerja (REALISASI/TARGET).
Selain itu juga memuat siapa yang menjadi pemilik (penanggung jawab) dari
setiap KPI tersebut.
Dewasa
ini, ada ratusan Performance Software yang dipasarkan di dunia, meskipun hanya
puluhan saja yang sudah diakreditasi oleh Balanced Scorecard Collaborative –
organisasi indipenden bentukan Prof. Kaplan dan Dr. Norton yang beranggotakan
para praktisi dan pakar dalam Balanced Scorecard. Masing-masing software
memiliki fitur-fitur yang bervariasi, tetapi intinya memungkinkan organisasi
memantau kinerja secara lebih baik. Sebagian besar Performance Software kelas
dunia berbasis Web sehingga bisa dimanfaatkan secara online dan bahkan realtime
bila infrastruktur teknologi dan data kinerja tersedia.
Otomasi
tersebut memungkinkan jajaran manajemen organisasi memiliki dashboard kinerja
organisasi secara menyeluruh atau dashboard kinerja unit fungsional, anak
perusahaan, atau bisa pula kinerja setiap individu di dalam organisasi.
Lajimnya kinerja (IKU) ditampilkan dalam dashboard berupa warna merah (kinerja
rendah), warna kuning (kinerja tercapai sebagian), dan warna hijau (kinerja
tercapai). Tersedianya warna-warna tersebut sangat memudahkan di dalam memantau
pencapaian kinerja organisasi.
Selain
itu, dahsboard memiliki banyak kegunaan lain yang sangat strategis sifatnya.
Pertama, memudahkan pimpinan mengambil langkah-langkah koreksi dan keputusan
secara cepat sehingga mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan (early
warning signal). Evaluasi pencapaian kinerja bisa dilakukan lebih mudah dan
cepat, tanpa harus menunggu periode 6 bulan atau 12 bulan. Pada organisasi
swasta, beberapa KPI bahkan dipantau setiap minggu dengan menggunakan software
ini. Kedua, alat bantu untuk memfokuskan rapat-rapat eksekutif pada upaya
meningkatkan kinerja dari KPI yang masih berwarna merah. Ini menjadikan
rapat-rapat eksekutif menjadi sangat efisien dan efektif. Ketiga, alat
komunikasi kinerja dengan seluruh level. Melalui software, pimpinan bisa
berkomunikasi dengan seluruh pejabat yang menjadi pengguna software, menanyakan
kenapa kinerja merah, dan meminta rencana tindakan mereka untuk membuatnya
menjadi hijau. Pimpinan kemudian mengarahkan dan memutuskan rencana tindakan
tersebut untuk dilaksanakan pejabat yang bersangkutan.
Lepas
dari alat navigasi, sesungguhnya penyajian data kinerja dengan software menjadi
dasar yang sangat kuat bagi organisasi untuk melaksanakan program pelatihan dan
pengembangan SDM. Pencapaian kinerja berwarna merah akan memungkinkan pimpinan
melakukan evaluasi apakah kinerja yang rendah itu disebabkan oleh faktor
kompetensi atau faktor lainnya. Dengan perkataan lain, warna merah sangat
mungkin menyiratkan adanya gap kinerja (Performance Gap). Jika warna merah
terkait dengan rendahnya kompetensi teknis atau kompetensi non-teknis
(motivasi), maka organisasi akan mengembangkan kompetensi tersebut dengan mengikutkan
ke pelatihan yang dibutuhkan. Apabila ternyata untuk meningkatkan kinerja
tersebut dibutuhkan coaching, maka organisasi akan memberikan coaching buat
yang bersangkutan.
Dengan
perkataan lain, data kinerja yang ditampilkan Performance Software juga menjadi
alat yang bagus/manjur untuk melakukan Training Need Analysis (TNA). Bukankah
training diberikan untuk meningkatkan kinerja? Hebatnya lagi di dalam Balanced
Scorecard, setiap orang sudah memiliki indikator kinerja utama yang benar-benar
diturunkan dari strategi besar organisasi, sehingga setiap peningkatan kinerja
individu maupun unit/fungsi diyakini akan meningkatkan kinerja organisasi
secara menyeluruh.
Informasi
pencapaian kinerja melalui software pada akhirnya sangat strategis di dalam
menjalankan seluruh praktik manajemen SDM organisasi. Mulai dari rekrutmen
hingga manajemen terminasi organisasi (HR Management Cycle). Sebagai contoh,
organisasi hanya melakukan perekrutan untuk bidang-bidang yang membutuhkan
penguatan (indikator merah). Orang yang direkrut harus memenuhi kualitas dan
kuantitas yang sesuai dengan strategi organisasi.
Lalu,
orang yang dipromosikan adalah orang-orang berkinerja tinggi, yaitu orang-orang
yang selalu atau nyaris memiliki indikator berwarna hijau (untuk 2 tahun atau
lebih; atau setiap diberi penugasan baru selalu memiliki indikator yang sangat
memuaskan). Dengan software yang transparan, praktik kasak-kusuk politik
kantor, gosip-gosip, dan komentar miring akan berkurang drastis ketika seorang
berkinerja tinggi dipromosikan. Orang tahu bahwa dia berhak mendapatkan promosi
karena kinerjanya yang kinclong. Begitu pula, kenapa seseorang diberikan
insentif yang lebih besar atau seseorang yang harusnya pensiun diperpanjang
usia pensiunnya.
Nah,
kalau seluruh rangkaian ini bisa dijalankan secara benar, peluang sebuah sistem
manajemen kinerja untuk gagal akan menjadi sangat kecil. Organisasi senang,
orang-orangnya pun senang, dan pemegang saham juga senang.
Sukses
selalu buat rekan semuanya. Nantikan tulisan-tulisan berikutnya, yang khusus
dibuat untuk membantu Anda dan organisasi Anda untuk sukses.
Dampak Negatif Dari Evaluasi Kinerja
Evaluasi
atau penilaian kinerja (Performance Evaluation/Appraisal) seringkali
menimbulkan rasa sakit bagi pihak yang dievaluasi maupun yang mengevaluasi.
Tetapi, dampak positifnya banyak lho!
Banyak perusahaan, apalagi di
Asia, agak malas melakukan evaluasi kinerja seluruh karyawannya. Kebanyakan
mereka melakukan evaluasi kinerja sekali setahun, yakni untuk menentukan bonus
akhir tahun. Penyebab utama dari praktik evaluasi kinerja yang tidak intens ini
adalah faktor psikologis yang ditimbulkan dari apa yang disebut dengan evaluasi
kinerja. Penilaian kinerja menimbulkan suasana yang tidak nyaman, terutama bagi
karyawan yang dinilai kinerjanya. Kondisi ini menjadikan beban pula bagi atasan
atau orang yang melakukan penilaian kinerja. Salah-salah, hubungan antara yang
dinilai dan yang menilai menjadi ikut terganggu.
Tetapi, perasaan ewuh-pekewuh
semacam itu sudah saatnya ditanggalkan jika kita ingin maju. Di era sekarang,
banyak perusahaan terkemuka melakukan penilaian kinerja dengan frekuensi
yang semakin sering. Ada yang setiap 3 bulan sekali, bahkan ada yang setiap 1
bulan sekali. Bahkan ada kecenderungan, pada sejumlah perusahaan, penilaian
kinerja dilakukan sekali seminggu. Hal ini dimungkinkan karena mereka mempunyai
piranti lunak yang dengan mudah mencatat pencapaian kinerja setiap orang
ataupun setiap bagian dan unit, khususnya bagi mereka yang sudah
mengimplementasikan dan mengotomasikan sistem manajemen kinerja Balanced
Scorecard. Semuanya jadi transparan dan mudah.
Sesungguhnya, sistem evaluasi
kinerja merupakan alat retensi yang efektif, karena mayoritas karyawan ingin
dan butuh umpan-balik konstruktif terhadap apa yang mereka kerjakan. Sayangnya,
mayoritas supervisor enggan melakukan penilaian kinerja. Masalahnya, penilaian
kinerja memerlukan komunikasi atas penilaian pribadi dan sangat memakan waktu,
khususnya jika supervisor hanya melakukan evaluasi tahunan yang memaksa mereka
untuk mengingat-ingat kembali pengalaman yang terjadi selama satu tahun. Banyak
pakar HR setuju bahwa penilaian kinerja sekali setahun tidak akan berhasil
karena penilaian kinerja itu terfokus kepada kejadian-kejadian luar biasa atau
untuk melihat-lihat kembali masalah di masa lalu yang sudah teratasi.
Sebaliknya, karyawan membutuhkan evaluasi kinerja regular, terus berlangsung
dan dengan panduan terstruktur untuk membantu mereka menetapkan dan mencapai
target pekerjaan maupun karir mereka.
Di bawah ini terdapat tips
praktis dari 4 elemen sistem penilaian kinerja yang efektif dan peringatan
terhadap 8 kesalahan umum yang dibuat supervisor dalam melakukan evaluasi
kinerja.
Kombinasi 4 Faktor dari Program
Penilaian Kinerja yang Efektif
Agar sebuah program penilaian
kinerja bekerja secara efektif, sistem tersebut haruslah didesain untuk
memberikan kepada karyawan tujuan yang jelas dan melakukan penilaian kemajuan
mereka secara objektif. Program yang paling sukses biasanya
mengkombinasikan 4 elemen berikut:
- Umpan balik regular, informal,
dari para supervisor. Evaluasi sekali setahun tentu tidak cukup. Karyawan
seyogyanya mendapatkan masukan secara regular dari supervisornya. Diskusi
ini biasanya fokus pada objektif kinerja hari-ke-hari ketimbang
berkonsentrasi kepada kesalahan atau kegagalan karyawan pada masa lalu.
Pendekatan macam ini mengharuskan supervisor untuk mengamati dan
mengevaluasi karyawan mereka secara regular dan untuk bekerja secara erat
dengan setiap karyawan sepanjang hal itu dibutuhkan.
- Target kinerja yang disusun bersama
oleh karyawan dan supervisor. Target bisa saja bersifat jangka pendek dan
jangka panjang, serta bisa mencakup berbagai jenis objektif, tergantung
pada tanggung jawab karyawan saat ini dan aspirasi di masa depan.
Kompetensi inti yang telah diidentifikasi seyogyakan dipergunakan untuk
menetapkan tujuan/target kinerja di masa depan. Tujuan/target haruslah
spesifik dan bisa dikuantifikasikan sebisa mungkin. Misalnya, penyelesaian
sebuah proyek spesifik dalam selang waktu tertentu. Untuk membantu
karyawan mencapai target mereka, supervisor seyogyanya menyediakan
training tambahan atau dukungan lain yang diperlukan. Target kinerja baru
perlu dicatat, ditinjau secara regular, dan dimodifikasi di mana perlu.
- Rencana tindakan/kerja untuk
memecahkan masalah kinerja atau disiplin. Rencana tindakan (Action Plans)
bisa sangat berguna ketika seorang karyawan menghadapi masalah kinerja
yang membutuhkan koreksi. Supervisor seyogyanya mengidentifikasi dan
mendiskusikan masalah-masalah dengan karyawan begitu hal itu terjadi dan
mengusulkan serangkaian tindakan yang bisa meningkatkan kinerja. Rencana
tersebut haruslah bersifat detil mengungkap masalah sebenarnya,
langkah-langkah di mana baik karyawan maupun supervisor akan
melaksanakannya untuk membantu memecahkan permasalahan, dan jadwal kapan
hal itu akan dilaksanakan. Karyawan seyogyanya memberikan masukan terhadap
rencana tersebut dan berhak mengusulkan perubahan. Sekali rencana tersebut
disetujui, rencana tersebut seyogyanya ditinjau ulang secara regular untuk
meyakinkan bahwa karyawan mampu mengimplementasikannya secara sukses.
- Tinjauan formal yang secara
akurat mendokumentasikan “gambar besar”. Idealnya, tinjauan formal ini
dilakukan beberapa kali dalam setahun, kendatipun rapat informal diadakan
secara regular, Anda tetap bisa mengadakan tinjauan tahunan atau setengah
tahunan. Biasanya, hal itu dilakukan bukan mengatasi masalah kinerja yang
sedang berjalan. Karyawan seyogyanya sudah diberitahukan tentang hal ini
selama diskusi informal berlangsung dan harus menindaklanjutinya dengan
rencana tindakan untuk mengkoreksinya. Bagaimanapun, tujuan dari
diskusi-diskusi informal adalah untuk mengkaji apakah target dan berbagai
rencana tindakan sudah dilaksanakan dan untuk menentukan pengembangan
karir jika karyawan telah melaksanakannya dengan benar.
Training untuk menghindarkan 8
Dosa Mematikan dari Evaluasi
Mendidik manajer untuk bisa
melaksanakan evaluasi secara efektif dan konsisten adalah sangat penting,
terutama karena baik manajer maupun karyawan merasa tidak nyaman mendiskusikan
kinerja. Training tersebut seyogyanya termasuk memperingatkan supervisor untuk
tidak mengulangi 8 kesalahan umum yang seringkali menjadikan proses evaluasi
terdistorsi dan menjadi tidak valid:
- Mendasarkan evaluasi terhadap
perilaku karyawan akhir-akhir ini, ketimbang mengevaluasi periode kinerja
keseluruhan.
- Membiarkan faktor-faktor yang
tidak relevan atau tidak terkait kepada pekerjaan mempengaruhi evaluasi,
seperti penampilan fisik, kelas sosial, partisipasi dalam program bantuan
karyawan, atau permintaan maaf atas absensi.
- Gagal memasukkan komentar yang
tidak disukai dalam evaluasi, kendatipun hal itu harus dilakukan.
- Memberikan peringkat seluruh
bawahan dengan nilai yang hampir sama dalam skala peringkat, biasanya di
tengah-tengah skala.
- Membiarkan satu karakteristik
karyawan atau aspek dari kinerja kerja mendistorsikan seluruh proses
pemeringkatan.
- Memberikan penilaian seluruh
karyawan terlalu longgar atau terlalu ketat.
- Membiarkan peringkat
seseorang yang sangat bagus atau terlalu jelek mempengaruhi seluruh
pemeringkatan karyawan lainnya (“halo effect”).
- Mengikutkan perasaan pribadi
untuk membuat proses evaluasi menjadi bias
Mendorong SikapPositif tentang
Penilaian Kinerja
Evaluasi kinerja tidak mesti
sangat menyakitkan atau tidak menyenangkan jika dilaksanakan secara
sistematis. Faktanya, ketika dilakukan secara benar, penilaian kinerja bisa
menjadi alat perencanaan efektif bagi manajer dan menyediakan umpan-balik yang
penting bagi para karyawan. Langkah pertama untuk menunjukkan komitmen
organisasi Anda untuk melaksanakan penilaian kinerja adalah dengan menyediakan
training kepada supervisor. Berikutnya, supervisor seyogyanya harus bisa
menyediakan panduan bagi karyawan mereka. Dan akhirnya, supervisor seyogyanya
melibatkan karyawan secara langsung dalam memformulasikan tujuan/target dan
rencana tindakan. Pendekatan interaktif dan dilaksanakan secara disiplin ini
bisa membantu mengurangi hambatan-hambatan alamiah dari evaluasi kinerja yang
efektif.
http://www.pt-mki.co.id/index.php/research/13-kenapa-sistem-kinerja-gagal-tulisan-2.html
http://www.pt-mki.co.id/index.php/research/27-kenapa-sistem-kinerja-gagal-tulisan-3.html
http://www.pt-mki.co.id/index.php/research/28-kenapa-sistem-kinerja-gagal-tulisan-4.html
http://www.pt-mki.co.id/index.php/research/29-mengurangi-dampak-negatif-dari-evaluasi-kinerja.html
nice info makasih ya kak
BalasHapuspromo hp xl